Cara Praktis Mengumumkan Mobil Baru!

Rapat berhenti sejenak ketika suara kunci mobil ditutup dan dibuka berulang kali. Terkesan Si Empunya mobil lupa sesuatu, setelah keluar mobil ... pintu ditutup, dibuka, ditutup lagi, dibuka lagi, dan ditutup lagi.
“Zit” (ditutup) lalu.... “Zit...zit” (dibuka)
“Zit” (ditutup lagi) ..... “Zit...zit” (dibuka lagi)
“Zit” (ditutup lagi) ..... “Zit...zit” (dibuka lagi).
Tidak berselang lama, pintu ruang rapat diketuk dan seorang pria pendek, kulit sawo bosok, berpakaian jas hitam yang terkesan “kegedean”, masuk. Tersenyum.
“Maaf saya terlambat... saya sedikit ada urusan... biasalah... he.. he.. ternyata teman-teman, dolar naik, harga biro jasa STNK juga naik... tapi ngak apalah..... Oh, ya silakan rapatnya dilanjutkan....!” Ceria.
Peserta rapat tersenyum agak asem.
“Oh... mobil baru nich, Pak Endan?”
“Ah... bukan... pegangan istri. Si kukut (maksudnya: nama mobil yang biasa ia pakai), .... lagi turun mesin. Besok mau keluar kota”.

Rapat terganggu.

”Bapak-bapak dan ibu-ibu, mari kita lanjutkan!”.
Pak Endan mengeluarkan kunci mobilnya di atas meja (yang sebenarnya masih dapat disimpan di kantong atau sakunya. Bibirnya sengaja ditarik ke arah atas sehingga terkesan terus ceria. Sambil membuka buku agendanya, tangan kirinya terus menerus memainkan kunci mobil baru.
”Barangkali saya bisa berkomentar?”
”Silakan pak!”
”Apakah........, ” Ia memulai bertanya. Tangan kanannya mengambil kunci mobil sebagai alat peraga pada saat menerangkan pendapatnya.

Namun tiba-tiba dari pengeras suara yang ada digedung tersebut sayup-sayup terdengar.
”Mohon perhatian kepada pemilik mobil Honda Jazz dengan Nomor Polisi D 1001 ED warna silver, mohon untuk dipindahkan karena menghalangi arus keluar masuk kendaraan....!”
”Sekali lagi.... mohon perhatian.....” Suara petugas tiga kali berulang- ulang.
Pak Endan, tiba-tiba tersenyum lebar.
”maaf... itu mobil saya.... saya keluar dulu!”

Rapat terganggu untuk kedua kalinya.

Pan Endan buru-buru keluar ruangan.
”Maaf Pak... mobil punya Bapak?” Suara petugas agak jengkel
”Maaf... ya.... lupa!”
”Lupa... sudah tahu disitu tidak boleh parkir!” gumam petugas parkir setelah Pak Endan ngeloyor.
”Eh... kamu ngak ngerti aja,... dengan cara begitu.... mobilnya akan diumumkan di pengeras suara.... maksudnya biar semua orang tahu!” temannya menimpali.
”Pak,.... jangan lupa lagi ya pak!” Petugas Parkir memberi peringatan.
Muka Pak Endan sedikit memerah, marah, tersinggung!
Pak Endan masuk lagi ke ruang rapat.

Tidak lama dari peristiwa itu, alarm sebuah mobil tiba-tiba berbunyi. Semua orang yang ada berusaha melihat ke arah parkir, tertuju kepada mobil baru.
”Ganguan apa lagi ini?” Pimpinan rapat terlihat jengkel.
Pak Endan tanpa basa-basi keluar ruangan, tetapi air mukanya tetap ceria.
”maaf... itu mobil saya!”
Pimpinan rapat geleng-geleng kepala.

Singkat kata rapat selesai.

”Selesai rapat, silakan Bapak Ibu tanda tangan absensi di Bu Indra. Ada sedikit uang transport...!” Pimpinan rapat menegaskan.
Semua tanda tangan.
Seperti biasanya, Pak Endan berusaha menjadi orang yang pertama.
”Maaf... apa bisa saya duluan?”
”Oh... silakan, Pak!”
”Saya ada perlu... ada rapat lagi!”
Disengaja atau tidak, kunci mobil yang ditentengnya tertinggal........ atau mungkin juga ditinggal.
Pada saat orang-orang antri uang transport, Pak Endan kembali lagi ke ruang rapat.
”Maaf... lupa. Kunci mobil saya tertinggal!”
Semua antrian mundur mempersilakan yang bersangkutan mengambil kunci mobil yang tertinggal.

Tidak lama dari itu, terdengar pintu mobil dibuka dengan remote control.
”Pasti klaksonnya berbunyi!” Salah seorang peserta rapat yang masih ngantri nyeletuk.
”Din... din...!” Terbukti benar, klakson mobil pak Endan berbunyi.
”Ha... ha... semua orang yang masih ada di ruangan tertawa”
“Jadi kesimpulan rapat hari ini nambah satu lagi!”
”Apa?”
”Pak Endan punya mobil baru,... untuk istrinya... dan efektif semua orang sudah tahu semua!”
”Ha... Ha... sirik Luh!”

Wajah-wajah lapar yang berkeliaran! (Pengalaman -1)

Wajah lapar tidak hanya tercermin dari orang-orang miskin, tetapi wajah lapar bisa juga ada pada orang-orang kaya. Orang miskin masih dapat dimaklumi jika memiliki guratan dahi ”wajah lapar” tetapi bagi orang kaya, apa mungkin terlihat wajah kelaparannya?
Wajah lapar tidak terletak pada perutnya yang keroncongan tetapi terletak pada ”jidatnya”, pada mentalnya!. Wajah lapar akan nampak pada perilaku bangsa ini yang tidak mau ngantri. Fenomena lunturnya budaya ngantri biasanya terjadi pada antrian prasmanan makan bersama. Gejala antrian yang kacau juga terjadi pada pembagian daging kurban (saat idul adha di sejumlah mesjid), pembagian zakat dan zakat mal. Tragedi pembagian zakat pada Ramadlon tahun 2008 (1429 H) di Jawa Timur adalah bukti bahwa kematian yang merenggut sejumlah orang adalah akibat dari ”kelaparan” yang tidak tertahankan. Mereka sangat lapar sehingga berebut!.
Orang kaya dan ”berpendidikan”, biasanya sangat rapi dalam menyembunyikan wajah kelaparannya.
Suatu saat, seseorang bercerita bahwa dirinya merasa sakit hati terhadap kolega yang kebetulan jadi atasannya. Ceritanya diawali dari rencana untuk membuat leaflet promosi lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
”Bu... tolong buat rancangan leaflet untuk promosi lembaga kita!”
”Ya pak..... apa jenis kertasnya dan berapa banyak?” Suatu pertanyaan yang sangat wajar, menurut saya.
”Yah si Ibu,.... harga leaflet tidak seberapa ’kan Bu?”
”Maksud Bapak?”
”Jangan mencari keuntungan dari hal-hal yang kecil, Bu?”
”Hek..........??” Kawan saya bengong!.
Sesuatu yang tidak pernah terduga sebelumnya.
”Pak..... saya ikhlas mau bantu bapak, tapi mengapa Bapak berpikir begitu. Saya tidak akan mengambil sepeserpun dari pembuatan leaflet, Pak!” kawan saya memerah mukanya.
”Maaf ya pak!........ saya dan keluarga bukanlah orang yang Bapak kira!” Walaupun kami miskin, kami tidak akan merusak diri. Kami tahu mana (pekerjaan) yang harus memperoleh keuntungan dan mana yang kami ikhlaskan menolong orang!”.
”Hanya sebagai gambaran, pak!..... Di antara keluarga kami, saat ini ada yang menjadi pengusaha restoran, cukup besar dan tersohor. Pada suatu saat, kami sekeluarga berkunjung ke tempat usahanya. Kami langsung mencari tempat yang di salah satu sudut, berusaha menghindari si pemilik restoran. Kami dilayani oleh pelayan layaknya pengunjung lain. Selesai makan, kami bayar dengan harga yang sama dengan orang lain........!” Nafasnya tersengal, penuh kejengkelan!
”Setelah kami makan dan membayar apa yang kami makan, kami menemui si pemilik restoran (yang notabene, saudara dekat kami!). Si pemilik restoran tentu saja kaget, karena tidak diberitahu sebelumnya. Ketika ditawari makan (tentu saja gratis!), kami tolak karena kami sudah kenyang!”.
”Dengan saudara sekalipun, kami tidak pernah mengambil keuntungan. Tidak merasa mumpung punya saudara kaya, lalu ingin makan gratis,.... TIDAK!”. Tandasnya.
Sejak itu, kawan saya tidak lagi mau mengerjakan tugas yang diberi oleh atasannya, kecuali yang menjadi tugas pokoknya!.
”Mengapa?” kata saya.
”Saya begitu rendah di matanya!...... Naif saya bekerja dengan orang yang berwajah lapar. Wajah yang paranoid, penuh ketakutan, dan selalu curiga” Cetusnya!
”Mengapa disebut wajah lapar?”
”Ia menuduh saya seperti hal dirinya.. Sebenarnya ia sendiri yang suka mengambil keuntungan dari pengadaan barang dan kegiatan!”
”Apa misalnya?”
”Seperti pengadaan seragam, pengadaan ATK, dan lain-lain........... kalau Anda ingin tahu...... dari pengadaan buku tamu saja untuk kegiatan seminar, ia sendiri yang nge-beliin!”
”Ah, masa?”
”Bener,.... dulu teman saya berinisiatif akan membeli buku tamu (kegiatan seminar). Atasan saya langsung mencegah.... jangan, sudah ada!”
”Lalu?”
”Eh.... ternyata, buku tamunya baru dibeli keesokan harinya. Artinya, pada waktu itu, buku tamu sebenarnya belum ada. Ia beli sendiri.....! Karena itu, ...... saya anggap ia berwajah lapar. Hal-hal kecil saja ia sendiri yang mengerjakan untuk memperoleh selisih dari harga barang dan atau berharap memperoleh tip dari penyedia barang”
”Lalu, bagaimana seharusnya?”
“Pemimpin yang baik, seharusnya memberi kepercayaan kepada anak buahnya. Berilah anak buah suatu kepercayaan.....bukan dicurigai!. Toh, ada mekanismenya jika ia ingin melakukan pengawasan”.

***
Begitulah...cerita kasus orang berwajah lapar.
Masih banyak cerita tentang wajah-wajah kelaparan yang dapat kita amati di masyarakat! Seandainya Anda berlima, bersama teman-teman, diberi 5 buah mangga. Setiap orang tentu saja memiliki jatah satu buah mangga. Diantara teman Anda pasti ada yang mencari buah mangga yang ukurannya terbesar dari 5 butir yang tersedia. Untuk memperoleh mangga terbesar, mungkin saja sedikit berebut. Rebutan untuk memperoleh mangga dengan ukuran yang paling besar adalah cerminan dari ”wajah-wajah lapar”!.
Mungkin Anda punya cerita lain tentang orang-orang yang berwajah lapar?
Carilah mereka dan bantulah mereka jika kelaparannya disebabkan oleh kekurangan bahan makanan, lapar karena tidak memiliki pekerjaan, dan lapar karena kemiskinan!. Namun waspadalah terhadap orang-orang yang kelaparan karena lapar kekuasaan dan lapar kedudukan. Mereka akan menikam Anda dari belakang, layaknya harimau kelaparan yang menerkam tengkuk Anda, hiiih.........!

***

Dua lagi: Paranoid dan Ber-wajah Lapar!

Suatu hal yang membikin saya teriris: suatu ketika keluarga pergi ke Malaysia. Saat di bandara, ada yang menegur. “Apakah anda dari Indon?”. Teman seperjalanan dengan nada tinggi langsung menjawab bukan!. Kami bukan Indon tetapi dari Indonesia. Mohon dicatat, dari Indonesia!.
Awalnya saya tidak faham. Mengapa kawan saya begitu sewot? Selidik punya selidik istilah Indon ternyata sangat populer di Malaysia yaitu sebutan untuk warga Indonesia yang ada di Malaysia. Sebutan tersebut adalah suatu sterotipe yang mendekati ejekan terhadap warga Indonesia yang dianggap manusia kelas dua. Wajah Indonesia adalah wajah pembantu rumah tangga, pekerja kasar, kuli bangunan, dan pekerja di kebun-kebun sawit. Citra ini tidak ada yang menyengaja apalagi warga Malaysia dengan sengaja membuat citra ini. Tapi apapun, pencitraan ini tentu sangat menyakitkan karena menyangkut kehormatan bangsa.
Sebelum istilah “Indon” ada, nampaknya terkait dari karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang disebutkan oleh Mochtar Lubis (1986). Ada apa dengan bangsa ini?
Sebagai penyegaran, saya sebutkan beberap ciri bangsa kita dari kacamata Pak Muchtar Lubis. Beliau pernah mencoba mengidentifikasi sejumlah ciri wajah bangsa Indonesia yaitu:

ciri pertama manusia Indonesia adalah munafik dan hipokrit. Berpura-pura, lain di muka lain dibelakang. Ciri ini nampaknya masih menjelaga pada wajah kita. Kita semua mengutuk korupsi, tetapi kita terus saja melakukan korupsi dan dari hari ke hari korupsi bertambah besar saja. Para pejabat yang di muka berkata sebagai orang yang terbuka dan berfikir positif, tetapi setiap hari selalu ngedumel ke sana kemari. Ciri orang yang suka ngedumel adalah bukti adanya sikap hipokrit terhadap apa yang ia akui sebagai orang yang terbuka. Di siang hari ia berbicara dan mengakui dirinya sebagai orang yang berfikir positif, tetapi di sore hari ia terus menerus berperasangka buruk terhadap orang lain hingga memuncak menjadi fitnah.

ciri kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, atau pikirannya. Kata-kata “bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Manusia macam ini selalu berusaha meminta dukungan orang lain ketika akan bertindak sesuatu. Ketika ada orang yang mendukung pendapatnya, barulah ia akan melakukan keputusannya. Ketika di akhir cerita ternyata keputusannya salah, maka ia akan menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam. Ia akan berkata “ini bukan keputusan saya”, tetapi keputusan itu adalah berdasarkan kesepakatan bersama. Ia berkelit dan tidak mengakui terhadap keputusan yang diambilnya tadi. Sebaliknya jika keputusannya ternyata benar, maka ia akan berbangga diri. Ia akan berkata kepada semua orang, bahwa tindakannya merupakan keberhasilan dirinya sendiri (tanpa ada peran dari orang lain). Ciri lain dari orang yang tidak bertanggung jawab adalah selalu memberi motivasi kepada orang lain agar lebih bekerja lebih giat, sedangkan urusan keuangan dan atau yang menyangkut keuntungan akan diurus oleh dirinya sendiri dengan tidak transparan sebagaimana mestinya.

ciri ketiga adalah berjiwa feodal. Dalam hubungan organisasi kepegawaian masih nampak jelas. Para istri komandan, istri gubernur, atau istri ketua secara otomatis akan menjadi ketua darma wanita. Pemilihannya bukan berdasarkan kecakapan tetapi berdasarkan feodalisme. Ciri feodal masih tampak di berbagai kalangan pemimpin, misalnya ingin selalu diangung-agungkan, diacungi jempol, dipuji-puji, atau “dijilati”. Jika ada bawahan yang berbeda pendapat apalagi menentang perintahnya maka dianggap berusaha menjatuhkan kedudukannya. Sifatnya kekanak-kanakan dalam memandang makna kerjasama. Contohnya, jika ada anak buahnya (kebetulan) tidak mengikuti satu kali rapat dinas maka dianggap tidak setia terhadap dirinya dan menjadi catatan pribadinya dalam waktu yang sangat lama.

ciri keempatadalah berwatak lemah. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan keyakinannya. Jiwa lemahnya disebabkan oleh rasa takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Lebih baik mengorbankan keyakinan atau pendapatnya daripada harus kehilangan jabatannya. Watak yang lemah jika menjadi pemimpin tidak pernah terus terang, tidak tegas, dan selalu mengharapkan agar anak buahnya selalu mengerti terhadap keinginan dirinya. Jika anak buahnya tidak mengerti saja (tidak melakukan apa yang dikehendakinya), ia akan menggerutu atau ngedumel tetapi tetap tidak berani terus terang. Enggan menegur bawahan tetapi meminta setiap orang agar mengerti terhadap keinginannya. Jika sudah kronis, pemimpin macam ini akan selalu tidak bisa menahan diri. Berbicaranya bernuansa fitnah dan cenderung berfikiran negatif kepada setiap orang.

Selain ciri-ciri di atas, ada dua ciri lain yang memupuk wajah indon bangsa kita yaitu:

Ciri kelima: Paranoid (yaitu ketakutan yang tidak beralasan) terhadap sesuatu yang belum terjadi. Dengan jiwa yang paranoid, ia akan berusaha mempertahankan kedudukannya dengan mencurigai setiap orang. Kalau perlu diwaspadi dengan ketat, diikuti gerak-geriknya, dan jika ada kesempatan akan memfitnahnya. Jiwa paranoid muda dibaca dari karakter yang sangat ketakutan jika jabatannya hilang dan diakhir masa jabatannya akan jatuh ke dalam lembah post power sindrome. Selain itu, biasanya suka kasak-kusuk dan mencela orang lain jika ia merasa gagal meraih apa yang diinginkannya.

Ciri kenam: Wajah lapar atau muka lapar. Ciri orang lapar sangat jelas nampak dari kata-kata dan perilakunya. Pada saat susah, kata-katanya mengais-ngais ingin memperoleh belas kasihan. Pada saat dipercaya menjadi pemimpin, ia akan membuat susah anak buahnya. Cenderung pelit. Mengukur harga orang lain dengan harga terendah dirinya. Menunda pembayaran honor anak buahnya, dan pada saat anak buahnya sempoyongan kesusahan ia seolah-olah menjadi “dewa penolong” yang baik hati. Perilakunya serakah dan ingin menang sendiri. Teman dekat (kalau perlu) dikorbankan untuk kejayaan pribadinya. Wajahnya sangat haus kekuasaan dan juga kekayaan.

Jika ciri-ciri yang disebutkan di atas masih ada, mungkinkah kita dapat bangkit menjadi bangsa yang besar?

Pilar 5: Lingkungan

Lingkungan pada tulisan ini adalah Lingkungan Hidup (LH) yaitu merupakan sumberdaya alam untuk penompang kehidupan manusia. Lingkungan hidup perlu dijaga dengan kesadaran kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Artinya bahwa dalam memperlakukan lingkungan hidup jangan melalui antroposentisme (ekploitasi lingkungan untuk kehidupan manusia) tetapi hendaknya berupa ekosentrisme (keseimbangan atau keserasian lingkungan yang dikelola dengan penuh tanggung jawab manusia).
Lingkungan sebagai pilar pembangunan sebenarnya tidak membutuhkan manusia. Keberadaannya diciptakan tanpa menunggu kehadiran manusia. Sebaliknya manusia sangat tergantung kepada keberadaan lingkungan. Seluruh keperluan manusia berada pada alam dari oksigen untuk bernafas, bahan makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain.
Untuk menjaga kelestarian lingkungan perlu komitmen, peduli sosial, dan teknologi. Begitu pula dengan pemanfaatannya, perlu ada komitmen, peduli sosial, dan teknologi. Bagaimana semuanya dapat dijelaskan? Perlu perenungan yang tidak hanya diajarkan pihak lain tetapi harus dirasakan dan ditemukan sendiri. Orang yang memiliki pengamalan (semacam etika) terhadap lingkungan hidup disebut orang yang telah memiliki ”kesalehan lingkungan”
Ada contoh seseorang memiliki telah memiliki ”kesalehan” lingkungan. Dari hasil renungannya pernah ia katakan bahwa kekayaan alam ini tidak akan pernah habis oleh milyaran manusia yang memperlakukan alam dengan penuh kearifan. Sebaliknya, dalam waktu singkat akan cepat habis hanya oleh seorang manusia yang serakah. Planet Bumi yang kecil ini telah diciptakan oleh Tuhan dalam ukuran yang ”cukup” bahkan berlebih jika diisi oleh manusia yang memiliki kesadaran bahwa hidupnya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebaliknya planet bumi akan hangus terbakar hanya diisi oleh manusia yang ingin hidupnya menunjukkan kesombongannya, keserakahan, dan tidak menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan, bahkan ini berperan sebagai tuhan.
Pembahasan lingkungan semakin menarik, tetapi untuk pendahuluan cukup sekian saja. Terima kasih

Pilar 4: Kesehatan

Kesehatan adalah kebugaran, kesejahteraan, kenyamanan, dan mampu melakukan hal-hal yang positif. Dalam makna kebugaran, kelihatannya sudah sangat jelas. Kesehatan dalam makna kesejahteraan memang tidak langsung tetapi biasanya orang yang bugar relatif akan merasakan lebih "sejahtera" atau bahagia. Orang sehat juga merasa nyaman, walaupun banyak orang yang menapikannya. Ketika sakit, barulah orang itu akan sadar bahwa ia tidak merasa nyaman.
Namun demikian makna kebugaran kaitannya dengan kemampuan melakukan hal-hal yang positif agak sulit dijelaskan. Tulisan ini hanya menarik semacam analogi saja, yaitu jika seseorang melakukan hal-hal yang tidak positif, melakukan kerusakan, menggangu, berbuat kejahatan, dan lain-lain sering kita katakan bahwa orang itu tidak "waras". Artinya tidak sehat secara rohani. Dengan demikian (logis atau tidak logis), makna kesehatan adalah melingkup kesehatan raga dan jiwa (fisik dan rohani). Keduanya harus lengkap, tidak boleh hanya salah satu saja.
Makna kesehatan bagi sebagian orang hanya dimaknai sebagai makna fisik, sehingga ketika seseorang sakit perut, lambungnya terasa perih dan kembung cukup dibantu tengan obat sakit maag. Asumsinya dengan meminum obat sakit maag permasalahan selesai?. Ternyata tidak! karena sumber penyakitnya mungkin bukan terletak di lambung. Sesudah minum obat, besok lusa akan sakit lagi atau kambuh.
Berbicara tentang penjagaan kesehatan, dikenal ada dua aliran yaitu pengobatan melalui zat kimia sintetis dan pengobatan herbal (alamiah). Pengobatan melalui zat kimia berpangkal pada keyakinan bahwa sakit adalah bersumber dari gangguan fisik semata dan pada daerah yang sakit perlu segera diobati. Sedangkan pengobatan herbal cenderung akan menangani sumber penyakit terlebih dahulu, yang kadang-kadang perlu kesabaran karena pengobatannya tidak langsung pada bagian yang sakit. Sakit kepala bisa jadi mengkonsumsi "obat" herbal yang diperuntukkan untuk bagian perut. Karena itu, para terapis yang menggunakan pengobatan herbal akan mengkaji permasalahan pasien secara holistik. Terkadang, cukup dengan nasihat untuk menenangkan pikiran pasien penyakit yang dideritanya bisa sembuh. Rekomenfasi obat herbal hanya untuk memperkuat daya imun tubuh agar dapat bertahan menghadapi guncangan kejiwaan yang dialaminya.
Penulis dalam membangun komitmen dalam bidang kesehatan tertarik dengan pendekatan herbal daripada pengobatan melalui zat kimia sistetis. Karena itu perlu ada penyaaan persepsi dalam mengikuti alur pemikiran penulis. Kita tunda dulu kajian ini, dalam waktu yang lain akan disambung lagi. Makasih!

Pilar 3: Teknologi

Teknologi adalah alat yang diciptakan oleh manusia agar manusia dapat hidup lebih baik, lebih mudah, lancar, dan lebih sejahtera. Pilar ini dalam konteks pembangunan bangsa merupakan tataran praksis yang wujudnya dipengaruhi oleh pilar lainnya. Penciptaan teknologi yang berpihak pada budaya bangsa seharusnya tidak bebas nilai tetapi harus sarat nilai.Bagaimana teknologi yang sarat (penuh dan kaya) nilai? ciri teknologi yang sarat nilai sekurang-kurangnya ada tiga yaitu: (a) diciptakan karena memiliki fungsi yang bermakna bagi keselamatan umat manusia, (b) memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan manusia, dan (c) memiliki dampak lanjutan untuk pengembangan ilmu dan teknologi lainnya.
Keselamatan manusia yang didukung oleh teknologi sarat nilai meliputi diminsi lahir-bathin dan dunia-akhirat. Mungkin untuk dibedakan antara teknologi yang diciptakan karena nasfu serakah dengan kebaikan sosial yang paling mudah adalah teknologi obat dan vaksin. Teknologi obat yang diciptakan atas nafsu serakah adalah bagaimana menciptakan obat yang memiliki efek samping. Dalam unsur obat ditambah suatu zat (yang sebenarnya tidak perlu) agar pengguna menjadi ketergantungan dan atau memunculkan efek timbulnya penyakit lain. Atau teknologi vaksin yang digunakan untuk menciptakan ketergantungan negara berkembang kepada negara maju. Silakan baca buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” karya Menteri Kesehatan RI Ibu Siti Fadilah Supari. Perjuangan dari penulis buku tersebut adalah bukti bahwa teknologi dapat dibuat dengan tujuan yang tidak baik. Untuk ciri kedua dan ketiga, cukup jelas dan tidak perlu diterangkan dalam tulisan ini.
Dengan gambaran di atas, dapat kita tarik makna bahwa untuk membangun atau memperbaiki bangsa perlu teknologi yang diciptakan dengan komitmen yang baik dan tentu saja peduli sosial. Nuhun.

Pilar 2: Peduli Sosial

Peduli sosial adalah perilaku warga bangsa untuk dapat melakukan perbuatan baik terhadap sesama yaitu berbagi, membantu, dan atau mempermudah pihak lain dalam melakukan urusannya (urusan yang benar dan baik). Orang yang mempersulit urusan orang lain adalah orang yang tidak peduli sosial.
Peduli sosial memiliki banyak makna, tetapi pada umumnya semua pihak hampir sepakat bahwa peduli sosial merujuk pada kegiatan amal baik kepada sesama. Dalam tulisan ini peduli sosial tidak hanya bermakna parsial tetapi lebih merujuk pada usaha seseorang untuk menyelamatkan warga bangsa sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya. Warga bangsa tidak hanya dalam jumlah banyak tetapi satu atau dua orang saja, termasuk warga bangsa.
Implementasi dari peduli sosial sangat mudah dan dapat dilakukan setiap saat, misalnya senyum kepada orang lain hingga pihak lain merasa nyaman adalah contoh perbuatan peduli sosial. Seorang dokter yang menyapa pasien dengan lemah lembut penuh kasih sayang adalah peduli sosial, karena mungkin hanya dengan perhatian seperti itu telah membantu mengobati pasien. Lebih jauh dari itu, peduli sosial dapat pula dilakukan tanpa orang lain mengetahuinya.
Suatu ketika penulis mendapat keluhan dari seorang dosen (sebuah perguruan tinggi di Bandung) yang merasa tidak diperhatikan oleh rekannya. Pada waktu itu tidak dilibatkan sebagai instruktur sebuah pelatihan (dengan menjadi instruktur pelatihan ia akan memperoleh honor yang lumayan). Saya katakan, cobalah datang kepada koordinator instruktur agar mendapat giliran sebagai pelatih. Ia katakan sudah mendatanginya, apa yang ia katakan adalah: "saya tidak memiliki kewajiban kepada siapapun -termasuk anda- untuk memilih seseorang sebagai instruktur!". Menurut saya, kata-kata semacam itu merupakan contoh tidak peduli sosial. Ia hanya peduli pada perhitungan politik, memilih seseorang yang suatu saat akan dapat diminta utang budinya. Kasihan kepada kawan itu, karena ia tidak memiliki kontribusi terhadap jejaring politik sang koordinator, ia menjadi korban ketidakpedulian.
Lebih tersembunyi lagi dari makna kepedulian sosial adalah doa. Barang siapa yang suka mendoakan kawannya agar dapat diberi keselamatan, kesehatan, dan murah rizki adalah juga bentuk kepedulian sosial. Bayangkan, jika masing-masing kita saling mendoakan agar orang lain cepat kaya dan naik pangkat, kita akan terbebas dari rasa iri terhadap orang itu!. Tapi ini sangat berat!
Dengan ilustrasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepedulian sosial yang kasat mata sangat mudah dilakukan, sebaliknya semakin tersembunyi (misalnya: mendoakan orang lain) akan semakin sulit dilakukan. Demikianlah makna peduli sosial dalam tulisan ini, yaitu kepedulian seseorang baik dalam bentuk terbuka maupun tersembunyi . Wallahu'alam!