Wajah-wajah lapar yang berkeliaran! (Pengalaman -1)

Wajah lapar tidak hanya tercermin dari orang-orang miskin, tetapi wajah lapar bisa juga ada pada orang-orang kaya. Orang miskin masih dapat dimaklumi jika memiliki guratan dahi ”wajah lapar” tetapi bagi orang kaya, apa mungkin terlihat wajah kelaparannya?
Wajah lapar tidak terletak pada perutnya yang keroncongan tetapi terletak pada ”jidatnya”, pada mentalnya!. Wajah lapar akan nampak pada perilaku bangsa ini yang tidak mau ngantri. Fenomena lunturnya budaya ngantri biasanya terjadi pada antrian prasmanan makan bersama. Gejala antrian yang kacau juga terjadi pada pembagian daging kurban (saat idul adha di sejumlah mesjid), pembagian zakat dan zakat mal. Tragedi pembagian zakat pada Ramadlon tahun 2008 (1429 H) di Jawa Timur adalah bukti bahwa kematian yang merenggut sejumlah orang adalah akibat dari ”kelaparan” yang tidak tertahankan. Mereka sangat lapar sehingga berebut!.
Orang kaya dan ”berpendidikan”, biasanya sangat rapi dalam menyembunyikan wajah kelaparannya.
Suatu saat, seseorang bercerita bahwa dirinya merasa sakit hati terhadap kolega yang kebetulan jadi atasannya. Ceritanya diawali dari rencana untuk membuat leaflet promosi lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
”Bu... tolong buat rancangan leaflet untuk promosi lembaga kita!”
”Ya pak..... apa jenis kertasnya dan berapa banyak?” Suatu pertanyaan yang sangat wajar, menurut saya.
”Yah si Ibu,.... harga leaflet tidak seberapa ’kan Bu?”
”Maksud Bapak?”
”Jangan mencari keuntungan dari hal-hal yang kecil, Bu?”
”Hek..........??” Kawan saya bengong!.
Sesuatu yang tidak pernah terduga sebelumnya.
”Pak..... saya ikhlas mau bantu bapak, tapi mengapa Bapak berpikir begitu. Saya tidak akan mengambil sepeserpun dari pembuatan leaflet, Pak!” kawan saya memerah mukanya.
”Maaf ya pak!........ saya dan keluarga bukanlah orang yang Bapak kira!” Walaupun kami miskin, kami tidak akan merusak diri. Kami tahu mana (pekerjaan) yang harus memperoleh keuntungan dan mana yang kami ikhlaskan menolong orang!”.
”Hanya sebagai gambaran, pak!..... Di antara keluarga kami, saat ini ada yang menjadi pengusaha restoran, cukup besar dan tersohor. Pada suatu saat, kami sekeluarga berkunjung ke tempat usahanya. Kami langsung mencari tempat yang di salah satu sudut, berusaha menghindari si pemilik restoran. Kami dilayani oleh pelayan layaknya pengunjung lain. Selesai makan, kami bayar dengan harga yang sama dengan orang lain........!” Nafasnya tersengal, penuh kejengkelan!
”Setelah kami makan dan membayar apa yang kami makan, kami menemui si pemilik restoran (yang notabene, saudara dekat kami!). Si pemilik restoran tentu saja kaget, karena tidak diberitahu sebelumnya. Ketika ditawari makan (tentu saja gratis!), kami tolak karena kami sudah kenyang!”.
”Dengan saudara sekalipun, kami tidak pernah mengambil keuntungan. Tidak merasa mumpung punya saudara kaya, lalu ingin makan gratis,.... TIDAK!”. Tandasnya.
Sejak itu, kawan saya tidak lagi mau mengerjakan tugas yang diberi oleh atasannya, kecuali yang menjadi tugas pokoknya!.
”Mengapa?” kata saya.
”Saya begitu rendah di matanya!...... Naif saya bekerja dengan orang yang berwajah lapar. Wajah yang paranoid, penuh ketakutan, dan selalu curiga” Cetusnya!
”Mengapa disebut wajah lapar?”
”Ia menuduh saya seperti hal dirinya.. Sebenarnya ia sendiri yang suka mengambil keuntungan dari pengadaan barang dan kegiatan!”
”Apa misalnya?”
”Seperti pengadaan seragam, pengadaan ATK, dan lain-lain........... kalau Anda ingin tahu...... dari pengadaan buku tamu saja untuk kegiatan seminar, ia sendiri yang nge-beliin!”
”Ah, masa?”
”Bener,.... dulu teman saya berinisiatif akan membeli buku tamu (kegiatan seminar). Atasan saya langsung mencegah.... jangan, sudah ada!”
”Lalu?”
”Eh.... ternyata, buku tamunya baru dibeli keesokan harinya. Artinya, pada waktu itu, buku tamu sebenarnya belum ada. Ia beli sendiri.....! Karena itu, ...... saya anggap ia berwajah lapar. Hal-hal kecil saja ia sendiri yang mengerjakan untuk memperoleh selisih dari harga barang dan atau berharap memperoleh tip dari penyedia barang”
”Lalu, bagaimana seharusnya?”
“Pemimpin yang baik, seharusnya memberi kepercayaan kepada anak buahnya. Berilah anak buah suatu kepercayaan.....bukan dicurigai!. Toh, ada mekanismenya jika ia ingin melakukan pengawasan”.

***
Begitulah...cerita kasus orang berwajah lapar.
Masih banyak cerita tentang wajah-wajah kelaparan yang dapat kita amati di masyarakat! Seandainya Anda berlima, bersama teman-teman, diberi 5 buah mangga. Setiap orang tentu saja memiliki jatah satu buah mangga. Diantara teman Anda pasti ada yang mencari buah mangga yang ukurannya terbesar dari 5 butir yang tersedia. Untuk memperoleh mangga terbesar, mungkin saja sedikit berebut. Rebutan untuk memperoleh mangga dengan ukuran yang paling besar adalah cerminan dari ”wajah-wajah lapar”!.
Mungkin Anda punya cerita lain tentang orang-orang yang berwajah lapar?
Carilah mereka dan bantulah mereka jika kelaparannya disebabkan oleh kekurangan bahan makanan, lapar karena tidak memiliki pekerjaan, dan lapar karena kemiskinan!. Namun waspadalah terhadap orang-orang yang kelaparan karena lapar kekuasaan dan lapar kedudukan. Mereka akan menikam Anda dari belakang, layaknya harimau kelaparan yang menerkam tengkuk Anda, hiiih.........!

***

Dua lagi: Paranoid dan Ber-wajah Lapar!

Suatu hal yang membikin saya teriris: suatu ketika keluarga pergi ke Malaysia. Saat di bandara, ada yang menegur. “Apakah anda dari Indon?”. Teman seperjalanan dengan nada tinggi langsung menjawab bukan!. Kami bukan Indon tetapi dari Indonesia. Mohon dicatat, dari Indonesia!.
Awalnya saya tidak faham. Mengapa kawan saya begitu sewot? Selidik punya selidik istilah Indon ternyata sangat populer di Malaysia yaitu sebutan untuk warga Indonesia yang ada di Malaysia. Sebutan tersebut adalah suatu sterotipe yang mendekati ejekan terhadap warga Indonesia yang dianggap manusia kelas dua. Wajah Indonesia adalah wajah pembantu rumah tangga, pekerja kasar, kuli bangunan, dan pekerja di kebun-kebun sawit. Citra ini tidak ada yang menyengaja apalagi warga Malaysia dengan sengaja membuat citra ini. Tapi apapun, pencitraan ini tentu sangat menyakitkan karena menyangkut kehormatan bangsa.
Sebelum istilah “Indon” ada, nampaknya terkait dari karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang disebutkan oleh Mochtar Lubis (1986). Ada apa dengan bangsa ini?
Sebagai penyegaran, saya sebutkan beberap ciri bangsa kita dari kacamata Pak Muchtar Lubis. Beliau pernah mencoba mengidentifikasi sejumlah ciri wajah bangsa Indonesia yaitu:

ciri pertama manusia Indonesia adalah munafik dan hipokrit. Berpura-pura, lain di muka lain dibelakang. Ciri ini nampaknya masih menjelaga pada wajah kita. Kita semua mengutuk korupsi, tetapi kita terus saja melakukan korupsi dan dari hari ke hari korupsi bertambah besar saja. Para pejabat yang di muka berkata sebagai orang yang terbuka dan berfikir positif, tetapi setiap hari selalu ngedumel ke sana kemari. Ciri orang yang suka ngedumel adalah bukti adanya sikap hipokrit terhadap apa yang ia akui sebagai orang yang terbuka. Di siang hari ia berbicara dan mengakui dirinya sebagai orang yang berfikir positif, tetapi di sore hari ia terus menerus berperasangka buruk terhadap orang lain hingga memuncak menjadi fitnah.

ciri kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, atau pikirannya. Kata-kata “bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Manusia macam ini selalu berusaha meminta dukungan orang lain ketika akan bertindak sesuatu. Ketika ada orang yang mendukung pendapatnya, barulah ia akan melakukan keputusannya. Ketika di akhir cerita ternyata keputusannya salah, maka ia akan menyalahkan orang lain sebagai kambing hitam. Ia akan berkata “ini bukan keputusan saya”, tetapi keputusan itu adalah berdasarkan kesepakatan bersama. Ia berkelit dan tidak mengakui terhadap keputusan yang diambilnya tadi. Sebaliknya jika keputusannya ternyata benar, maka ia akan berbangga diri. Ia akan berkata kepada semua orang, bahwa tindakannya merupakan keberhasilan dirinya sendiri (tanpa ada peran dari orang lain). Ciri lain dari orang yang tidak bertanggung jawab adalah selalu memberi motivasi kepada orang lain agar lebih bekerja lebih giat, sedangkan urusan keuangan dan atau yang menyangkut keuntungan akan diurus oleh dirinya sendiri dengan tidak transparan sebagaimana mestinya.

ciri ketiga adalah berjiwa feodal. Dalam hubungan organisasi kepegawaian masih nampak jelas. Para istri komandan, istri gubernur, atau istri ketua secara otomatis akan menjadi ketua darma wanita. Pemilihannya bukan berdasarkan kecakapan tetapi berdasarkan feodalisme. Ciri feodal masih tampak di berbagai kalangan pemimpin, misalnya ingin selalu diangung-agungkan, diacungi jempol, dipuji-puji, atau “dijilati”. Jika ada bawahan yang berbeda pendapat apalagi menentang perintahnya maka dianggap berusaha menjatuhkan kedudukannya. Sifatnya kekanak-kanakan dalam memandang makna kerjasama. Contohnya, jika ada anak buahnya (kebetulan) tidak mengikuti satu kali rapat dinas maka dianggap tidak setia terhadap dirinya dan menjadi catatan pribadinya dalam waktu yang sangat lama.

ciri keempatadalah berwatak lemah. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan keyakinannya. Jiwa lemahnya disebabkan oleh rasa takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Lebih baik mengorbankan keyakinan atau pendapatnya daripada harus kehilangan jabatannya. Watak yang lemah jika menjadi pemimpin tidak pernah terus terang, tidak tegas, dan selalu mengharapkan agar anak buahnya selalu mengerti terhadap keinginan dirinya. Jika anak buahnya tidak mengerti saja (tidak melakukan apa yang dikehendakinya), ia akan menggerutu atau ngedumel tetapi tetap tidak berani terus terang. Enggan menegur bawahan tetapi meminta setiap orang agar mengerti terhadap keinginannya. Jika sudah kronis, pemimpin macam ini akan selalu tidak bisa menahan diri. Berbicaranya bernuansa fitnah dan cenderung berfikiran negatif kepada setiap orang.

Selain ciri-ciri di atas, ada dua ciri lain yang memupuk wajah indon bangsa kita yaitu:

Ciri kelima: Paranoid (yaitu ketakutan yang tidak beralasan) terhadap sesuatu yang belum terjadi. Dengan jiwa yang paranoid, ia akan berusaha mempertahankan kedudukannya dengan mencurigai setiap orang. Kalau perlu diwaspadi dengan ketat, diikuti gerak-geriknya, dan jika ada kesempatan akan memfitnahnya. Jiwa paranoid muda dibaca dari karakter yang sangat ketakutan jika jabatannya hilang dan diakhir masa jabatannya akan jatuh ke dalam lembah post power sindrome. Selain itu, biasanya suka kasak-kusuk dan mencela orang lain jika ia merasa gagal meraih apa yang diinginkannya.

Ciri kenam: Wajah lapar atau muka lapar. Ciri orang lapar sangat jelas nampak dari kata-kata dan perilakunya. Pada saat susah, kata-katanya mengais-ngais ingin memperoleh belas kasihan. Pada saat dipercaya menjadi pemimpin, ia akan membuat susah anak buahnya. Cenderung pelit. Mengukur harga orang lain dengan harga terendah dirinya. Menunda pembayaran honor anak buahnya, dan pada saat anak buahnya sempoyongan kesusahan ia seolah-olah menjadi “dewa penolong” yang baik hati. Perilakunya serakah dan ingin menang sendiri. Teman dekat (kalau perlu) dikorbankan untuk kejayaan pribadinya. Wajahnya sangat haus kekuasaan dan juga kekayaan.

Jika ciri-ciri yang disebutkan di atas masih ada, mungkinkah kita dapat bangkit menjadi bangsa yang besar?